Aku tidak tahu dari mana akan memulai karena aku tak punya kisah menarik yang bisa diceritakan pada siapa pun. Mungkin dalam kisah ini tiada yang menarik, hanya saja mungkin ini satu - satunya caraku tuk melepas semua ketidak nyamanan dalam diriku.
Ini tentang suatu perasaan, perasaan yang tidak pernah bisa aku mengerti dan selalu tak pernah bisa ku tunjukkan. Perasaan yang selalu membuatku tak nyaman karena selalu mencari cara tuk menutupinya. Karena aku terlalu penakut atau mungkin karena aku sulit untuk percaya pada orang lain hingga aku tak pernah bisa mengungkapkannya pada seorang pun, hanya Tuhan saja yang tahu apa yang ku sembunyikan.
Perasaan yang tertinggal
Waktu itu aku masih SMU dan masih ingin menjalin banyak persahabatan dengan siapa pun. Sementara teman – teman lain sudah banyak yang membicarakan masalah cinta bahkan beberapa di antara mereka ada yang sudah berpacaran sejak masih di SMP. Di antara sekian banyak teman, ada seorang teman cowok yang sering kali ribut denganku (dan aku sudah mengenalnya sejak kami masih SMP dulu). Kami sering terlibat perdebatan tentang apa pun, dia sangat senang bila akhirnya aku kalah dalam perdebatan dengannya dan tentu saja itu membuatku kesal.
Hampir setiap hari dia mengajakku berdebat, dia selalu saja ada cara untuk membuatku membalas ‘ide – ide gila’nya. Putra, begitu teman – teman biasa memanggilnya tapi karena tingkahnya yang sering membuatnya kesal, aku memanggilnya ‘orang aneh’ (hmm…atau dia juga berpikir aku ‘aneh’ ya?).
Karena seringnya ribut, banyak teman yang mengira kalau hal itu hanya untuk menutupi hubungan kami yang sebenarnya. Awalnya aku tidak begitu mempedulikan apa yang dikatakan teman – teman karena aku tahu tidak mungkin diriku menyukai ‘orang aneh’ seperti dia dan aku yakin dia juga sama sepertiku. Lagipula waktu itu baru tahun kedua di SMU jadi aku belum mengerti tentang perasaan saling suka itu.
Perasaan itu baru ku sadari setelah memasuki akhir tahun ketiga di sekolah. Saat itu kami sudah akan lulus dan mulai sibuk dengan tujuan masing – masing untuk segera lulus dan melanjutkan pendidikannya menurut pilihan sendiri. Aku mulai merasa ada yang kurang bila tidak bertemu dengannya sehari saja. Ya, mungkin aku merindukan tingkah – tingkah anehnya atau juga karena sudah terbiasa ada dia di dekatku.
Teman akrabku, Tari menyadari sikapku ini. “Wi, aku tahu kamu pasti lagi kangen sama Putra. Kamu ga perlu bohongi aku, aku bisa melihat di matamu”, begitu kata Tari suatu hari. Tapi aku tetap saja tidak bisa mengatakan apa yang ku rasa karena aku juga masih bingung dengan perasaanku sendiri, “Ri, kamu ada – ada aja ! ga mungkin lah aku mikirin ‘orang aneh’ itu. Aku malah nyaman klo dia ga da dekatku, jadi ga da yang ganggu lagi kan?” begitu jawabku. Tari menatap padaku lalu berujar, “Wi, mungkin kamu bisa pura – pura di depan orang lain tapi kamu ga kan bisa bohongi hatimu sendiri. Sebentar lagi kita semua akan segera lulus dan pergi mengejar cita – cita masing – masing. Aku juga ga tau apa kita akan ketemu lagi atau ga. Jangan sampai ada penyesalan di hatimu kelak”.
Dan kenyataannya aku tetap menyangkal semua yang dikatakan Tari. Sampai akhirnya kami pergi meneruskan pendidikan ke tempat pilihan masing – masing. Dan hingga saat itu pun aku tak pernah bertemu apalagi terlibat pembicaraan dengan ‘orang aneh’ itu.
berlanjut ke PART TWO.........