Namanya Freddy, dia siswa baru di kelasku. Pindahan dari Amrik katanya. Sekilas wajahnya mengingatkanku pada sahabatku, Virna yang tiba – tiba saja pergi tanpa kabar. Menurut wali kelas kami sih, dia pindah ikut orang tuanya ke luar kota. Tapi yang membuatku kecewa dia tak pernah menceritakan sedikit pun tentang rencana kepindahannya itu padahal sudah lebih dari 5 tahun kami berteman. Seingatku tak pernah ada ‘masalah besar’ antara aku dan dia, sekali pun ada hanya pertengkaran kecil dan tidak sampai membuatku memutuskan pertemanan dengan Virna.
Kembali ke Freddy, dia baru saja masuk minggu kedua semester pertama kami di kelas XII ini. Perawakannya sedang untuk anak laki – laki seusianya, dengan penampilan sederhana dan gaya bicara campur antara Bahasa Indonesia dan English. Maklum saja katanya dia pernah 1 tahun tinggal di Amerika sebelum akhirnya kembali dan melanjutkan studi di sekolah ini. Aku tidak tahu apa alasan sebenarnya, begitu diperkenalkan sebagai siswa baru di kelas kami dia langsung memilih duduk di bangku sebelahku padahal saat itu ada tiga bangku kosong di kelas. “ I like sit di barisan depan”, katanya dengan bahasa Indonesia yang kacau waktu aku tanya mengapa memilih bangku di sebelahku. Kebetulan memang aku duduk di depan berseberangan langsung dengan meja guru. “duduk di depan itu akan more focus !” lanjutnya. Ah…..aku tidak terlalu peduli dengan kata – katanya. Ingatanku kembali ke beberapa tahun silam saat Virna msih di sini.
Sahabatku Virna
Aku dan Virna sudah berteman sejak kami masuk SMP yang sama. Dia adalah anak yang selalu ceria dan selalu siap membantuku kapan pun aku memerlukan bantuan. Hal yang paling membuatku terkesan, suatu hari aku pernah hampir tidak bisa pulang karena hujan deras dan ternyata aku tidak bawa uang sama sekali untuk ongkos. Aku tidak tahu siapa yang memberitahukannya, tiba – tiba saja Virna datang bersama sopirnya untuk menjemputku padahal saat itu dia masih sangat lelah karena baru saja sampai dari luar kota. “feeling aku ke kamu tuch kuat banget, Ri !”, begitu jawabnya waktu aku tanya bagaimana dia bisa tahu kalau diriku terjebak sendiri di gedung sekolah itu. Sejak peristiwa itu aku semakin mengagumi dia dan selalu percaya padanya. Ku akui dia sangat perhatian bahkan sampai menjadi ‘over protective’ terhadapku.
Seingatku pernah dua kali kami bertengkar karena masalah yang sama. Jadi ceritanya ada seorang teman cowok yang menyukaiku dan memintaku jadi pacarnya. Sebagai sahabat, aku meminta pendapat Virna tentang hal itu. Seketika ekspresinya memperlihatkan ketidak sukaannya. Benar saja, sejurus kemudian dia mengatakan hal – hal jelek tentang cowok itu. Aku tidak mengerti dengan sikapnya padahal kami sama – sama tahu kalau cowok tadi tidak sejelek yang dikatakannya. Terang saja aku berpikir kalau si Virna juga menyukai cowok itu karena tingkahnya terlihat seperti orang yag sedang cemburu. Akhirnya aku mengalah saja karena tidak ingin melanjutkan pertengkaran.
Hal yang paling membuatku heran, dia selalu terlihat tidak senang setiap kali ada teman cowok yang akrab denganku. Aku memaklumi kalau sebagai sahabat kami saling berbagi tapi menurutku tidak sewajarnya saling ikut campur urusan pribadi masing – masing.
Pertengkaran terakhirku dengan Virna baru saja terjadi sekitar 6 bulan lalu. Masalahnya adalah aku sudah jarang bersama – sama dia sejak aku dekat dengan seorang kakak kelas. Ya…aku lebih sering terlihat bersama Kak Arie tapi itu karena rumah kami satu komplek dan dia juga sering membantuku untuk hal – hal yang tidak bisa dilakukan cewek sepertiku.
Hari itu sepulang sekolah aku melihat dari kejauhan Virna sedang berbicara serius dengan Kak Arie. Aku yang penasaran segera mendekati mereka dan langsung bertanya, “Vir, Kak Arie ada apa ni?”. Kak Arie yang baru menyadari kehadiranku di sana segera mendekatiku seraya berkata, “Ri, sahabatmu memintaku untuk menjauhimu”. Aku terkejut mendengar hal itu, “ Kenapa Vir, apa salah Kak Arie ke kamu? Untuk apa kamu melakukan ini semua?” cercahku dengan penuh kekesalan. Sejenak dia menatapku, ada perasaan aneh yang ku rasa saat tatapan kami bertemu. Semenit kemudian Virna berujar, “karena aku sayang sama kamu Ri. Aku tidak mau kamu terluka, semua cowok tuch sama hanya akan menyakiti”
“Maaf Vir, menurutku kamu sudah over protective. Apa yang kamu pikirkan sudah tidak masuk akal. Kalau kamu tidak suka dengan seorang cowok, kenapa harus semua cowok yang menjadi temanku yang kamu benci?”. “Tapi Ri….”, belum sempat dia menyelesaikan ucapannya aku segera menarik Kak Arie untuk pergi dari situ. Dari sudut mataku, aku masih bisa melihat kemarahan Virna.
Sejak pertengkaran terakhir kami, aku tak pernah melihat Virna lagi, pun saat pembagian rapor kenaikan kelas yang datang mengambil rapornya hanya sopirnya. Aku baru tahu dari Bu guru saat masuk di kelas baru bahwa Virna sudah pindah ke luar kota tapi dia tak memberitahukan ke mana. Aku pikir mungkin dia benar – benar ingin menghindariku sejak itu.
Freddy itu………
Tidak terasa hampir satu semester berlalu dan pertemananku semakin akrab dengan Freddy. Dia anak yang menarik, dia suka menceritakan tentang negeri Paman Sam kepadaku. Dia juga mengajarkanku ‘English gaul’ nya di sana. Ternyata Freddy di sini tinggal sendiri, jadi anak kost. Ortunya masih di luar negeri katanya. Ada satu hal yang membuatku penasaran, ternyata bukan hanya kepribadiannya yang mengingatkanku pada Virna sahabatku dulu tapi juga sikapnya pada Kak Arie. Dia terlihat tidak senang waktu aku kenalkan mereka berdua. Dan lebih mengherankan lagi, Kak Arie menganjurkan padaku untuk tidak terlalu akrab dengan Freddy, kata Kak Arie sepertinya ada sesuatu yang disembunyikan si Freddy itu. Namun aku tidak terlalu mempedulikan kekhawatirannya itu.
Suatu hari aku, Lisa, Meta dan Riki (mereka adalah teman – teman sekelasku) berkesempatan ke kost Freddy untuk mengerjakan tugas kelompok. Rumah itu cukup sederhana berbentuk memanjang dan terdiri atas kamar – kamar yang saling berhadapan yang dipisah oleh sebuah lorong. Di ujung lorong terdapat satu ruang yang cukup besar yang difungsikan sebagai dapur yang di sebelahnya ada 2 kamar mandi.
Kebetulan kamar Freddy ada di deretan paling luar, kamar itu berukuran 3 x 3 meter dan tertata rapi (ya…rapi untuk standar kamar cowok !). hanya ada satu tempat tidur, lemari dan meja kecil di sana. Freddy membiarkan kami menunggu di kamarnya yang nyaman itu sementara dia ke toko kecil di dekat sana untuk membeli beberapa makanan. Ku lihat teman – temanku mulai asyik membongkar tumpukan komik yang ada di atas tempat tidur sedangkan aku, mataku langsung tertuju pada sebuah diary yang terselip antara kertas – kertas di atas meja kecil di sudut ruangan. Aneh menurutku, tidak biasanya anak cowok suka menulis diary.
Ku coba ambil buku kecil itu dan ku buka, selembar foto terjatuh dari balik lembarannya. Aku pungut dan betapa terkejutnya saat ku lihat di foto itu adalah aku dan Virna saat masih akrab dulu. Di belakang foto itu masih tertulis tanggalnya, “September ceria ^_^ 3/9/02”. Aku ingat itu foto kami saat baru lulus SMP dulu. Penasaran, akhirnya aku baca halaman pertama diary itu. Keterkejutanku berlanjut, di situ tertulis nama pemiliknya : SAVIRNA EKA PUTRI………
to be continued >>>
Senin, 31 Januari 2011
Kamis, 06 Januari 2011
SADARKAN AKU
Setiap detik yang berlalu
Menghitung diriku bertanya padaku
Akankah sia – sia
Bila akhir waktu datang memanggilku
KAU jagalah, lindungilah, selamatkan aku
Itulah bait – bait lagu “Taqwa” dari Opick yang mengiringi istirahatku siang ini . Ya, hari ini banyak waktu luangku di kantor, karena pekerjaan hari ini tidak banyak. Di sela – sela waktu itu aku mencoba browsing dan membaca artikel di dalam blog seorang teman. Tiba – tiba aku mataku tertuju pada sebuah cerita sederhana. Ceritanya membawa ingatanku kembali ke masa lalu saat diriku baru masuk kuliah.
Semangat Islam
Semasa kuliah dulu aku pernah iseng – iseng ikutan teman jadi anggota salah satu UKM (unit kegiatan mahasiswa) di kampus. Kebetulan UKM yang aku ikuti itu adalah UKM keagamaan (ya…sejenis ekskul RISMA lah kalo jaman sekolah dulu). Awalnya sich agak bosan juga, apalagi ngelihat mbak – mbak yang jadi pengurusnya itu pada pakai jilbab lebar dan abaya, kesannya ‘exclusive’ gitu.
Semakin sering ikut pertemuan dan kegiatan di UKM itu, aku jadi semakin berminat dan akhirnya sedikit demi sedikit ku perbaiki penampilanku yang dulu suka semaunya (ya…..ku pikir yang penting nyaman, ga tau itu syar’i atau ga). Aku mulai lebih suka pake rok panjang yang agak ‘gombrong’ (hmm….ga ikutan pake abaya seperti mbak – mbak senior itu soalnya ngerasa aneh ja kalo diriku pake pakaian kayak gitu) dan lebih suka pake jilbab yang menutup dada (walaupun ga se’gombrong’ jilbab mbak-mbak tadi). Aku mulai terbiasa dengan sapaan ‘ukhti’ atau panggilan ‘akhwat’.
Wah, pada waktu itu rasanya bahagia sekali bisa mendalami dan lebih memahami agama (tentu aja agama Islam) juga punya teman – teman yang sholeh dan sholehah. Aku juga merasa ada ketenangan hati saat bisa menghafalkan beberapa ayat dari Alquran dan mempelajarinya. Intinya, saat itu diriku benar – benar bersemangat memperbaiki diri dan menjadi islami.
Masa telah berganti
Masa – masa indah saat berkumpul bersama teman – teman ‘akhwat’ itu telah berlalu. Sekarang aku berada di masa dan lingkungan yang sangat jauh berbeda dengan masa itu. Aku masuk di dunia kerja yang penuh dengan permasalahan yang lebih berfokus pada kesuksesan dunia. Bahkan terkadang membuat orang lupa pada Sang Pemilik Hidup ini. Cukup sulit bagiku untuk tetap bertahan pada idealisme yang masih ada dalam diri ini.
Akhirnya aku yang harus beradaptasi dengan lingkungan. Aku mulai merasakan penampilan dan pergaulanku sedikit demi sedikit berubah, sampai gaya bahasa pun ikut – ikutan bahasa gaul yang sebenarnya menurutku malah ‘sok gaul’ sich.
Tidak lagi ku dengar istilah – istilah akhi, ukhti, antum, jazakallah, liqo, dan kata – kata serapan bahasa Arab lainnya. Masih beruntung aku tidak sepenuhnya mengikuti keadaan itu dan aku masih punya teman – teman akhwat yang senasib denganku yang masih saling mengingatkan.
Aku benar – benar merindukan diriku yang dulu, teman – temanku yang sholehah itu, dan semangat mengaplikasikan sunah – sunah dalam ajaran agamaku setiap hari. Rasanya tidak mudah untuk mengajak orang lain seperti apa yang ku harapkan (diriku di sini masuk golongan minoritas !).
Doaku seperti bait lagu Opick tadi, KAU jagalah, lindungilah, selamatkan aku.
Langganan:
Postingan (Atom)