Ku terpaku saat melihatnya
Ingin ku sapa namun tak semudah biasa
Gerangan apa tiada kata yang mampu ku cipta
Diam, lalu ku coba palingkan pandang
Tanya melintas dalam benakku
Apa yang tersimpan pada dirinya
Apa yang Tuhan ingin ku lakukan
Seakan sesuatu menarikku
Untuk tahu dia, arti hadirnya
Sayang egoku menarikku menjauh
Ku tulis kata ‘tak mungkin’ dalam ruang benakku
Namun kalbu membuka ruang lain yang indah
Takkan mampu ku melawannya
Dan ku temukan keindahan itu
Saat ku lihat sebuah senyuman
Ya, senyumannya adalah keindahan
Dan ku biarkan sang waktu menuntun
Sampai akhirnya ku tahu
Arti keindahan itu, arti hadirnya dalam waktuku
(*dedicated to seorg teman/sahabat/seseorg yg sangat berarti dlm hdpku*)
(*thanks 4 everything u've done to me ^_^)
Sabtu, 17 Juli 2010
Kamis, 24 Juni 2010
CINTA ITU APA??? (part one)
Aku tidak tahu dari mana akan memulai karena aku tak punya kisah menarik yang bisa diceritakan pada siapa pun. Mungkin dalam kisah ini tiada yang menarik, hanya saja mungkin ini satu - satunya caraku tuk melepas semua ketidak nyamanan dalam diriku.
Ini tentang suatu perasaan, perasaan yang tidak pernah bisa aku mengerti dan selalu tak pernah bisa ku tunjukkan. Perasaan yang selalu membuatku tak nyaman karena selalu mencari cara tuk menutupinya. Karena aku terlalu penakut atau mungkin karena aku sulit untuk percaya pada orang lain hingga aku tak pernah bisa mengungkapkannya pada seorang pun, hanya Tuhan saja yang tahu apa yang ku sembunyikan.
Perasaan yang tertinggal
Waktu itu aku masih SMU dan masih ingin menjalin banyak persahabatan dengan siapa pun. Sementara teman – teman lain sudah banyak yang membicarakan masalah cinta bahkan beberapa di antara mereka ada yang sudah berpacaran sejak masih di SMP. Di antara sekian banyak teman, ada seorang teman cowok yang sering kali ribut denganku (dan aku sudah mengenalnya sejak kami masih SMP dulu). Kami sering terlibat perdebatan tentang apa pun, dia sangat senang bila akhirnya aku kalah dalam perdebatan dengannya dan tentu saja itu membuatku kesal.
Hampir setiap hari dia mengajakku berdebat, dia selalu saja ada cara untuk membuatku membalas ‘ide – ide gila’nya. Putra, begitu teman – teman biasa memanggilnya tapi karena tingkahnya yang sering membuatnya kesal, aku memanggilnya ‘orang aneh’ (hmm…atau dia juga berpikir aku ‘aneh’ ya?).
Karena seringnya ribut, banyak teman yang mengira kalau hal itu hanya untuk menutupi hubungan kami yang sebenarnya. Awalnya aku tidak begitu mempedulikan apa yang dikatakan teman – teman karena aku tahu tidak mungkin diriku menyukai ‘orang aneh’ seperti dia dan aku yakin dia juga sama sepertiku. Lagipula waktu itu baru tahun kedua di SMU jadi aku belum mengerti tentang perasaan saling suka itu.
Perasaan itu baru ku sadari setelah memasuki akhir tahun ketiga di sekolah. Saat itu kami sudah akan lulus dan mulai sibuk dengan tujuan masing – masing untuk segera lulus dan melanjutkan pendidikannya menurut pilihan sendiri. Aku mulai merasa ada yang kurang bila tidak bertemu dengannya sehari saja. Ya, mungkin aku merindukan tingkah – tingkah anehnya atau juga karena sudah terbiasa ada dia di dekatku.
Teman akrabku, Tari menyadari sikapku ini. “Wi, aku tahu kamu pasti lagi kangen sama Putra. Kamu ga perlu bohongi aku, aku bisa melihat di matamu”, begitu kata Tari suatu hari. Tapi aku tetap saja tidak bisa mengatakan apa yang ku rasa karena aku juga masih bingung dengan perasaanku sendiri, “Ri, kamu ada – ada aja ! ga mungkin lah aku mikirin ‘orang aneh’ itu. Aku malah nyaman klo dia ga da dekatku, jadi ga da yang ganggu lagi kan?” begitu jawabku. Tari menatap padaku lalu berujar, “Wi, mungkin kamu bisa pura – pura di depan orang lain tapi kamu ga kan bisa bohongi hatimu sendiri. Sebentar lagi kita semua akan segera lulus dan pergi mengejar cita – cita masing – masing. Aku juga ga tau apa kita akan ketemu lagi atau ga. Jangan sampai ada penyesalan di hatimu kelak”.
Dan kenyataannya aku tetap menyangkal semua yang dikatakan Tari. Sampai akhirnya kami pergi meneruskan pendidikan ke tempat pilihan masing – masing. Dan hingga saat itu pun aku tak pernah bertemu apalagi terlibat pembicaraan dengan ‘orang aneh’ itu.
berlanjut ke PART TWO.........
Ini tentang suatu perasaan, perasaan yang tidak pernah bisa aku mengerti dan selalu tak pernah bisa ku tunjukkan. Perasaan yang selalu membuatku tak nyaman karena selalu mencari cara tuk menutupinya. Karena aku terlalu penakut atau mungkin karena aku sulit untuk percaya pada orang lain hingga aku tak pernah bisa mengungkapkannya pada seorang pun, hanya Tuhan saja yang tahu apa yang ku sembunyikan.
Perasaan yang tertinggal
Waktu itu aku masih SMU dan masih ingin menjalin banyak persahabatan dengan siapa pun. Sementara teman – teman lain sudah banyak yang membicarakan masalah cinta bahkan beberapa di antara mereka ada yang sudah berpacaran sejak masih di SMP. Di antara sekian banyak teman, ada seorang teman cowok yang sering kali ribut denganku (dan aku sudah mengenalnya sejak kami masih SMP dulu). Kami sering terlibat perdebatan tentang apa pun, dia sangat senang bila akhirnya aku kalah dalam perdebatan dengannya dan tentu saja itu membuatku kesal.
Hampir setiap hari dia mengajakku berdebat, dia selalu saja ada cara untuk membuatku membalas ‘ide – ide gila’nya. Putra, begitu teman – teman biasa memanggilnya tapi karena tingkahnya yang sering membuatnya kesal, aku memanggilnya ‘orang aneh’ (hmm…atau dia juga berpikir aku ‘aneh’ ya?).
Karena seringnya ribut, banyak teman yang mengira kalau hal itu hanya untuk menutupi hubungan kami yang sebenarnya. Awalnya aku tidak begitu mempedulikan apa yang dikatakan teman – teman karena aku tahu tidak mungkin diriku menyukai ‘orang aneh’ seperti dia dan aku yakin dia juga sama sepertiku. Lagipula waktu itu baru tahun kedua di SMU jadi aku belum mengerti tentang perasaan saling suka itu.
Perasaan itu baru ku sadari setelah memasuki akhir tahun ketiga di sekolah. Saat itu kami sudah akan lulus dan mulai sibuk dengan tujuan masing – masing untuk segera lulus dan melanjutkan pendidikannya menurut pilihan sendiri. Aku mulai merasa ada yang kurang bila tidak bertemu dengannya sehari saja. Ya, mungkin aku merindukan tingkah – tingkah anehnya atau juga karena sudah terbiasa ada dia di dekatku.
Teman akrabku, Tari menyadari sikapku ini. “Wi, aku tahu kamu pasti lagi kangen sama Putra. Kamu ga perlu bohongi aku, aku bisa melihat di matamu”, begitu kata Tari suatu hari. Tapi aku tetap saja tidak bisa mengatakan apa yang ku rasa karena aku juga masih bingung dengan perasaanku sendiri, “Ri, kamu ada – ada aja ! ga mungkin lah aku mikirin ‘orang aneh’ itu. Aku malah nyaman klo dia ga da dekatku, jadi ga da yang ganggu lagi kan?” begitu jawabku. Tari menatap padaku lalu berujar, “Wi, mungkin kamu bisa pura – pura di depan orang lain tapi kamu ga kan bisa bohongi hatimu sendiri. Sebentar lagi kita semua akan segera lulus dan pergi mengejar cita – cita masing – masing. Aku juga ga tau apa kita akan ketemu lagi atau ga. Jangan sampai ada penyesalan di hatimu kelak”.
Dan kenyataannya aku tetap menyangkal semua yang dikatakan Tari. Sampai akhirnya kami pergi meneruskan pendidikan ke tempat pilihan masing – masing. Dan hingga saat itu pun aku tak pernah bertemu apalagi terlibat pembicaraan dengan ‘orang aneh’ itu.
berlanjut ke PART TWO.........
Rabu, 17 Maret 2010
TASTELESS
i know since first time i saw you
i feel the beautifulness
that sweety smile blow me
like a mild whisper lead me
i know since beginning
here would be the rain
shower my careless so bad
i'm in pretend to don't know
and i know i've waste my chance
sadness being the meaning of my dream
now, i only give untasted smile
i don't know if happiness is sorrow
cause that smiling face not with me
i never play with faith
but the faith play me on
now, that blue feeling turn off
and would never give a taste again
Rabu, 10 Maret 2010
CRAZY

Dari dulu aku paling ngeri dengan orang gila yang suka mengamuk tanpa sebab. Ya, rumahku dulu dekat dengan Rumah Sakit Jiwa (RSJ). Jadi kadang – kadang terlihat orang gila yang lepas dari pengawasan berkeliaran di sekitar rumah penduduk.
Tamu Tak Diundang
Biasanya kalau mendengar istilah ‘Tamu Tak Diundang’ yang terlintas di benak kita adalah maling atau tukang kredit, nah kalau peristiwa yang dialami tetanggaku ini lain lagi.
Pernah suatu hari ada seorang pria yang tiba – tiba datang ke rumah tetanggaku dan tanpa permisi dia ikut duduk di samping anak tetangga yang sedang nonton televisi, mereka (tetanggaku itu) tidak menyadari kehadiran orang asing itu sampai anaknya yang paling kecil tiba – tiba bertanya pada ayahnya, ”Yah, oom itu siapa? Kenapa ikutan nonton sama kita?”. Sang ayah terkejut sekali sambil melihat pria asing yang hanya senyum – senyum ke arahnya itu.
Kemudian si ayah bertanya, “hei, kamu siapa? Kenapa masuk rumah orang ga bilang – bilang?”. Pria asing itu tidak menjawab. Dia malah tertawa – tawa lalu tanpa permisi mencomot coklat yang sedang dimakan oleh anak bungsu tetanggaku itu. Mereka yang sedang menonton televisi semua terheran – heran lalu tersadar bahwa lelaki itu adalah salah seorang pasien RSJ yang lepas. Akhirnya sang ayah memberanikan diri mengusirnya. Ya, seperti kita tahu orang gila tidak mempan dimarah – marah atau pun diusir. Jadi tetanggaku itu butuh waktu yang lama walau pun pada akhirnya pria gila itu memang pergi.
Kehebohan di Sekolah
Dulu sewaktu aku masih sekolah di SMP, ada peristiwa yang paling menghebohkan tidak cuma sekolah kami tapi menghebohkan sekota. Peristiwa itu merupakan peristiwa paling mengerikan bagiku apalagi aku emang takut dengan yang disebut orang gila.
Sebenarnya sekolahku yang dulu tidak berdekatan dengan Rumah Sakit Jiwa tapi ada seorang warga sekitar yang mengidap “penyakit gila akut” yang kadang – kadang suka mengamuk aku lupa warga sekitar memanggilnya siapa. Anggap saja namanya Man atau “Man gila”.
Hari itu tidak sepeti biasanya, gerbang sekolah yang selalu ditutup saat proses belajar – mengajar berlangsung malah terbuka lebar. Entah disengaja atau satpam yang jaga di depan lupa menutupnya. Dan mungkin sudah takdir Tuhan juga pada hari itu si Man gila mengamuk dan masuk ke dalam gedung sekolah kami dengan membawa golok. Pak satpam yang biasa menjaga gerbang tidak berani untuk menghadangnya.
Kebetulan ada satu ruang kelas yang pintunya terbuka (kalo ga salah sich itu kelas satu), maka masuklah si Man gila tadi dalam keadaan mengamuk dengan mengayun – ayunkan goloknya. Seisi kelas itu ketakutan dan berhamburan keluar. Malangnya ada beberapa orang anak yang terkena sabetan goloknya hingga mereka terluka cukup parah. Yang paling mengenaskan adalah seorang siswi yang terjebak sendiri dalam kelas, si gila menyayatnya dengan membabi buta sampai anak itu terluka sangat parah. Kehebohan itu membuat semua siswa berhamburan keluar gedung sekolah ingin menyelamatkan diri masing – masing.
Untunglah ada seorang guru yang berhasil mengambil golok di tangan si Man gila dan akhirnya bisa mengsirnya menjauh dari lingkungan sekolah. Namun malang nasib siswi yang sekarat tadi, dia meninggal dalam perjalanan ke rumah sakit. Orang tuanya benar – benar ‘shock’ waktu tahu anaknya menajdi korban dalam peristiwa itu.
Mereka (orang tua siswi yang meninggal itu) menyalahkan pihak sekolah karena telah lalai sampai putri mereka harus kehilangan nyawa dengan cara tragis seperti itu. Namun entah bagaimana penjelasan dari pihak sekolah pada orang tua siswi tersebut sehingga tidak ada tuntutan dari mereka, mungkin dewan guru berhasil meyakinkannya bahwa kejadian itu benar – benar kecelakaan tak terduga. Mungkin juga kedua orang tua siswi itu sudah pasrah, toh meskipun mereka menuntut tidak akan mengembalikan putri mereka.
Peristiwa heboh itu benar – benar sudah meninggalkan trauma yang dalam bagi para siswa termasuk aku. Ya, “I hate crazy people !”
Tertipu Orang Gila
Pernah juga aku punya pengalaman yang menyebalkan tentang orang gila (kenapa lagi nih?). Dulu sewaktu aku masih SMA, ayahku pernah mengajakku berkunjung ke Rumah Sakit Jiwa (nah lho? Ayahku ‘aneh’ juga ya, koq ngajak jalan – jalan ke RSJ?). Kata ayah, ada temannya yang jadi dokter dan kerja di sana.
Ikutlah aku dan adikku ke RSJ menemani ayah menemui Pak dokter itu. Begitu masuk gerbang RSJ itu kelihatan sangat sepi jadi aku tidak terlalu takut berjalan di sana. Lalu ayah mengajak kami ke sebuah ruangan dan ternyata di ruangan itu cukup ramai, ada beberapa orang yang berpakaian dokter dan perawat. Menurut analisaku (yang ‘sok tahu’) orang – orang itu adalah para medis yang bekerja di sana dan ruangan itu adalah ruang tunggu karena ada seperangkat kursi dan televisi.
Ayah menyuruhkan dan adik menunggu d sana sementara dia mencari Pak dokter temannya itu di ruangan lain. Duduklah aku dan adikku di kursi bersebalahan dengan beberapa orang yang sedang menonton televisi. Sudah jadi kebiasaan aku suka ‘sok ramah’ dengan orang yang baru ku kenal, waktu itu aku mencoba mengajak ngobrol seorang lelaki yang berpakaian dokter dan seorang perawat. Aku bertanya apa yang sedang mereka lakukan. Yang buat aku kesal, kedua orang itu tidak menjawab malah sibuk sendiri dengan peralatan kedokteran yang dipegangnya. Karena merasa ‘dicuekin’, aku tinggalkan mereka dan ikut yang lain menonton televisi.
Tiba – tiba ada seorang gila yang membakar sesuatu, orang – orang di ruangan itu (selain aku dan adikku) berteriak – teriak heboh sekali. Aku dan adikku jadi ikutan panic, tiba – tiba ayahku dating bersama Pak dokter dan beberapa orang perawat. Dokter dan para perawat itu segera membawa orang – orang gila itu kembali ke kamarnya masing – masing. Setelah suasana jadi tenang tiba – tiba adikku bertanya sama salah seorang perawat, “Mbak, dokter sama perawat yang ada di dekat sini tadi mana?”. Perawat itu balik bertanya, “dokter? Dokter yang mana? Pak dokter kan baru datang tadi !”. “lho, tadi ada koq dokter yang lain malah sempat diajak ngobrol sama Kak Dwi. Iya kan Kak”, adikku mencoba meminta persetujuanku. Lalu perawat itu menjawab, “Oh, jangan – jangan yang kalian maksud itu si Dido dan Dipa ! mereka itu bukan dokter atau perawat tapi mereka pasien di sini. Emang mereka berdua suka sekali menirukan gaya dokter dan perawatnya.” Aku dan adikku saling berpandangan terkejut. “What? I have talked with crazy people?” seruku kepada adikku. Adikku cekikikan sambil menyahut, “dan tertipu oleh orgil ! haha……..“
Minggu, 24 Januari 2010
PELAJARAN KEHIDUPAN
Saat ku terpaku menatap tumpukan buku
Saat ku rasa bosan mulai menyelimuti jiwa
Saat otakku serasa lelah dan tlah kehabisan dayanya
Saat tiada satu pun kata yang mampu ku tulis
Hanya kepenatan yang terasa
Dan lelah yang tersisa
Lalu ku lihat seorang anak yang belajar jalan
Lucu ku lihat, dia terjatuh lalu bangkit lagi
Dia jatuh lagi tapi tak juga menyerah sampai akhirnya
Dia bisa melangkah sampai sepuluh langkah
Dan ku lihat senyum puas di wajahnya
Anak yang manis, dia tak pernah bosan mencoba
Kemudian aku terhenyak
“Hei, itu jawabnya !” bisik hatiku
Ya, belajar bukan suatu kebosanan
Ia bukan hal yang melelahkan
Bila kau tahu caranya
Bila kau tak hanya terpaku pada buku dan sekolah
Ya, ilmu tidak hanya di buku
Ilmu tidak dalam rumus – rumus rumit itu
Ilmu tidak harus memaksa otakmu bekerja keras
Kehidupan adalah ilmu terbaik
Lihatlah kau bisa temukan ilmu dari seorang anak kecil
Dari seekor kupu – kupu
Dari aliran sungai di dekat rumahmu
Dari pedagang buah di pasar
Dan lihatlah, kau tiada pernah merasa bosan
Kau tiada harus berpusing ria
Kawan mari dapatkan ilmu kita di mana pun
Saat ku rasa bosan mulai menyelimuti jiwa
Saat otakku serasa lelah dan tlah kehabisan dayanya
Saat tiada satu pun kata yang mampu ku tulis
Hanya kepenatan yang terasa
Dan lelah yang tersisa
Lalu ku lihat seorang anak yang belajar jalan
Lucu ku lihat, dia terjatuh lalu bangkit lagi
Dia jatuh lagi tapi tak juga menyerah sampai akhirnya
Dia bisa melangkah sampai sepuluh langkah
Dan ku lihat senyum puas di wajahnya
Anak yang manis, dia tak pernah bosan mencoba
Kemudian aku terhenyak
“Hei, itu jawabnya !” bisik hatiku
Ya, belajar bukan suatu kebosanan
Ia bukan hal yang melelahkan
Bila kau tahu caranya
Bila kau tak hanya terpaku pada buku dan sekolah
Ya, ilmu tidak hanya di buku
Ilmu tidak dalam rumus – rumus rumit itu
Ilmu tidak harus memaksa otakmu bekerja keras
Kehidupan adalah ilmu terbaik
Lihatlah kau bisa temukan ilmu dari seorang anak kecil
Dari seekor kupu – kupu
Dari aliran sungai di dekat rumahmu
Dari pedagang buah di pasar
Dan lihatlah, kau tiada pernah merasa bosan
Kau tiada harus berpusing ria
Kawan mari dapatkan ilmu kita di mana pun
MEMILIKI DUNIA
Pagi ini tuk ke sekian kali, gontai kaki melangkah
Rasa malas menyeret – nyeret
Ya, aku harus kembali ke sana
Aku harus menghadiri kelas
Hadir dalam ruang yang didirikan untuk mereka yang ingin memiliki dunia
Memiliki dunia? Terlalu berat rasanya untuk orang sepertiku
Bagaimana memiliki dunia?
Dengan koin – koin di celengan ayamku kah
Dengan hasil jualan koran kah
Bahkan biduk kecilku pun tak mampu mengelilinginya
Apa yang dipunya seorang miskin sepertiku
Tiba – tiba sadarku terbangkitkan
Seketika ku baca di dinding kelas
“gantungkan cita- citamu setinggi langit”
Ku tatap langit luar, ku lihat mentari yang seolah tersenyum padaku
Cita – cita !
Ya, itulah yang ku punya
Semua orang bahkan si fakir memilikinya
Cita – cita !
Tidak dibeli dengan harta pun kesengsaraan
Tidak dicapai hanya dengan buku – buku tebal
Tidak dengan hanya keluar masuk gedung megah
Gedung megah yang kami sebut ‘sekolah’
Cita – cita, kan ku gapai
Dengan asa tertinggi
Dengan mimpi terindah
Dengan semangat membara
Dengan ilmu yang tiada tara
Tiada guna seragam itu tanpa semangat
Tiada guna masuk kelasku tanpa asa
Tiada guna sekolah mahal itu
Tanpa cita –cita dan ilmu yang sempurna
Ku katakan padamu kawan,
Kan ku miliki dunia dengan segenggam cita – cita
Yang ku gantungkan di langit tertinggi
Yang tiangnya dari ilmu dan semangat secerah sinar mentari
Dan pondasinya mimpi terindah
Jumat, 25 Desember 2009
HERMAPRODIT (Inspired by True Story)

Sudah lebih kurang lima tahun dia menjalani pekerjaan yang sebelumnya tak pernah diinginkannya tersebut, bahkan membayangkannya saja dia tidak mau. Tapi kenyataannya itulah yang terjadi pada hidupnya sekarang, menjadi seorang ‘gigolo’ yang melayani tante – tante girang juga berhubungan dengan pria – pria homoseksual.
Edric, begitu dia biasa dipanggil. Sebenarnya dia adalah sosok pemuda yang baik, berparas tampan dan cukup pintar. Namun sayang pengalaman hidup membuatnya harus menjalani kehidupan yang tidak normal. Berganti – ganti pasangan dan menjalani kehidupan biseksual.
Pengalaman masa kecil
Pada awalnya Edric dan keluarganya adalah keluarga besar yang bahagia. Ayahnya merupakan orang keturunan Pakistan yang bekerja sebagai seorang pedagang sedangkan ibunya orang Jawa yang patuh kepada suaminya.
Edric kecil adalah seorang anak yang rajin membantu ayahnya berdagang. Rumah mereka berdekatan dengan rumah pamannya yang kebetulan adalah pemilik bilyard. Dari sana awal dia mengetahui kehidupan para gigolo namun waktu itu ia tak pernah berniat melibatkan diri ke dalamnya. Hingga suatu peristiwa membuatnya sangat terpukul dan menjerumuskannya pada kehidupan ‘maksiat’.
Saat itu usaha ayahnya mengalami kebangkrutan, karena penipuan dari seorang rekanan. Sang ayah sebagai tulang punggung keluarga tidak siap mengalami kegagalan seperti itu maka jadilah ayahnya mencoba peruntungan dengan berjudi dan menjual ‘togel’. Ibunya yang sangat patuh kepada suami itu tidak mampu mencegah perbuatan buruk ayahnya, sebaliknya sang ibu justru membantu menjalankan usaha terlarang tersebut.
Suatu hari ayah dan ibunya pergi untuk waktu yang cukup lama sehingga tinggallah hanya Edric dan ketiga saudaranya di rumah. Sepeti biasa dia bermain – main di rumah bilyard pamannya yang kebetulan pada saat itu lagi sepi pengunjung.
Kemudian sang paman datang dan mengajaknya bermain bilyard. Sementara Edric tidak menaruh curiga pada pamannya, karena dia merasa sudah sangat mengenal adik ayahnya itu.
Tiba – tiba tanpa diduga pamannya menariknya ke suatu ruangan di rumah bilyard itu, Edric meronta dan berteriak minta tolong tapi tenaga pamannya lebih kuat dan tak seorang pun mendengar teriakannya. Lalu terjadilah hal yang sangat memilukan itu, ia disodomi oleh pamannya sendiri. Dia tidak bisa berbuat apa – apa, tidak pernah disangkanya paman yang dihormatinya selama ini tega melakukan hal menjijikan itu padanya.
Sejak peristiwa itu, Edric menjadi pemuda yang pendiam dan selalu takut bila melihat pamannya. Dia benar – benar terpukul karena perbuatan pamannya itu.
Menjadi Biseksual
Sayang sekali tak seorang pun anggota keluarganya menyadari perubahan sikap Edric. Semua sibuk dengan urusan masing – masing. Sebenarnya Edric pernah mencoba menceritakan peristiwa naas yang menimpanya kepada ibunya namun ibunya tidak mempercayainya bahkan ibunya mengira dia sedang mengarang cerita, begitu juga ayah dan saudara – saudaranya.
Merasa terkucilkan dan tidak pernah dipedulikan oleh keluarganya, Edric pun pergi dari rumah dan mencoba menjadi anak kost. Saat itu dia sudah masuk SMU dan masih butuh banyak uang untuk biaya hidupnya sendiri. Di SMU pula dia mulai menyukai dandanan seperti anak – anak perempuan. Edric mulai memakai kosmetik, seperti celak, lipgloss, dan ‘kutek’ (pewarna kuku).
Untuk membiayai hidupnya sendiri dia harus bekerja. Awalnya dia bekerja sebagai seorang ‘bartender’ di sebuah bar & diskotik. Kemudian dari sana dia berkenalan dengan banyak pria yang berprofesi menjadi ‘gigolo’. Melihat penghasilan pria – pria yang suka melayani wanita – wanita kesepian itu lumayan besar, dia pun mencoba profesi tersebut tanpa berpikir lagi bahwa pekerjaan itu membawa banyak resiko, yang dia inginkan hanya mendapatkan uang sebanyak – banyaknya untuk mencukupi kebutuhan hidupnya.
Karena parasnya yang tampan, dengan mudah dalam sekejap Edric mendapatkan banyak pelanggan (tante – tante girang*red*). Karena begitu senang mendapatkan uang yang banyak, ia terus melanjutkan pekerjaan terlarang itu sampai lulus sekolah dan ia memutuskan untuk melanjutkan ke perguruan tinggi.
Di saat mulai kuliah itulah dia merasakan keganjilan dalam dirinya, bayang – bayang peristiwa masa kecilnya terus terlintas dan mungkin itu yang mempengaruhi perasaannya menjadi lebih tertarik pada pria daripada wanita. Dia merasa ada bagian jiwa wanita dalam dirinya meskipun dia sadar bahwa dia juga laki – laki. Akhirnya dia tak bisa melawan keganjilan dalam dirinya sehingga dia menjalin hubungan (berpacaran *red*) dengan sesama pria yang juga menyukai jenisnya.
Kehidupan Edric semakin rumit, dia sudah benar – benar terjerumus pada kemaksiatan. Dia terus menjalankan profesinya sebagai ‘gigolo’ yang berhubungan dengan tante – tante genit namun dia juga menyalurkan hasratnya untuk berpacaran dengan pria – pria penyuka sesama jenis. Ya, Edric akhirnya tak bisa mengendalikan dirinya menjadi seorang ‘biseksual’. Mungkin makhluk seperti Edric inilah salah satu contoh ‘hermaprodit’ (tiba – tiba saja aku teringat dengan pelajaran biologi waktu SMP dulu).
Pengakuan
“Sejak awal kuliah dan mengenalmu sebenarnya aku sudah merasa ada suatu keyakinan dalam diriku untuk bersahabat denganmu”, begitu yang dikatakan Edric pada saat memulai cerita hidupnya kepadaku. “sepertinya ada bisikan yang bilang kalo dirimu akan menjadi teman yang baik dan dapat menerima aku apa adanya”, lanjutnya. “jangan terlalu berlebihan menilai diriku, aku hanya berusaha menjadi teman yang baik walaupun awalnya aku ga percaya dengan ceritamu”, begitu jawabku waktu itu.
“Ric, kalo kamu memang menganggapku sebagai sahabatmu aku mau kamu pertimbangkan saranku”, kataku akhirnya. “aku sudah bisa nebak apa yang mau kamu sarankan ke aku Wi”, jawabnya. “kamu pasti mau diriku berubah dan meninggalkan semua yang aku kerjakan itu, iya kan?”, lanjutnya. “Ric….” belum selesai aku bicara dia sudah memotong, “Ga perlu kasih nasihat beserta hadist – hadist nabi ke aku Wi, aku sudah sering dengar” Edric bicara seolah – olah dia sudah tahu isi kepalaku.
Aku maklum kalau dia sudah banyak tahu isi kitab bahkan aku yakin dia tahu lebih baik tentang ajaran agama disbanding diriku karena ayahnya berasal dari keluarga Pakistan yang bisa dibilang taat beragama. Namun aku juga tahu kalau Allah Swt. memberi hidayah hanya pada orang yang dikehendakinya. Bahkan nabi Muhammad pun tidak berhasil mengajak pamannya untuk memilih jalan Allah, apalagi diriku yang hanya manusia biasa?? “Wi, aku tetap menganggapmu sebagai sahabat baikku. Tapi aku minta maaf untuk saat ini aku belum bisa meninggalkan semua, doakan aja suatu saat aku bisa berubah jadi lebih baik”, lirih Edric berkata. “gimana dengan orang tua dan keluargamu?”, tanyaku. “aku memang sudah kembali ke rumah dan mencoba meninggalkan sifat kewanitaanku, tapi justru di rumah aku harus membantu ayahku manjalankan usaha ‘togel’nya dan jadi negosiator dengan polisi yang mencoba mengambil keuntungan dari usaha ayah”, Edric menjawabku dengan suara sedih yang tertahan.
Aku tak bisa berkata apa pun lagi karena setelah mengatakan semua kenyataan itu, Edric segera pergi dan hingga saat ini tidak pernah lagi menghubungiku. Ya Allah, semoga Engkau bukakan hati temanku itu.
Langganan:
Postingan (Atom)