Jumat, 25 Desember 2009

JAWA BUKAN BORNEO (Inspired by true story)


Waktu ku ucapkan kalimat Jawa bukan Borneo, teman – teman hanya tertawa sembari berseru,”ya iyalah Wi, kamu pikir Borneo di mana? Itu tempat suku Dayak tuch, coba kamu cari di sini mana ada suku Dayaknya ! kamu nich ada – ada ja”. Aku hanya tersenyum kecut, mereka selalu mengartikan kalimat orang secara harfiah.

Padahal aku tidak sekedar sembarang buat kalimat itu. Itu baru bisa ku dapatkan setelah mengikuti perkembangan kejadian di kost akhir – akhir ini dan itu membutuhkan waktu yang tidak sebentar karena harus diawali adanya anak perantauan dari Kalimantan. Setelah itu harus mengakrabkan diri dulu dengan mereka, lalu mempelajari kebiasaan mereka. Benar kan perlu waktu yang cukup lama? Yah, jadi perlu survey dan interview berkali – kali dan berhari – hari (sepertinya terlalu berlebihan ya??) untuk mengeluarkan ‘statement’ seperti itu (halah…..).

Kemunculan keluarga kecil

Suatu hari di bulan Oktober (aku lupa pastinya tanggal dan jam berapa) kami kedatangan anggota kost yang baru dan tidak tanggung – tanggung beliau membawa serta 3 orang anaknya. Namanya Mbak Koshe, sedang ketiga anaknya adalah Tissha, Oka dan Dedek. Mereka baru pindah dari Kalimantan tapi berencana tidak akan lama di sini karena suaminya Mbak Koshe masih tinggal dan bekerja di Kalimantan.

Anaknya yang sulung, si Tissha masih duduk di bangku kelas 2 SMP dan berencana melanjutkan sekolahnya di pulau Jawa ini. Sedangkan 2 orang putranya yakni Oka dan Dedek masih bersekolah di SD. Kuat juga Mbak Koshe ini mengurusi 3 orang anak yang menurutku ‘bandel’ itu seorang diri.
Sebenarnya Mbak Koshe sendiri asli orang Jawa, orang tuanya ada di Pemalang dan suaminya adalah asli Semarang hanya saja setelah menikah suaminya ditugaskan di pulau Borneo. Karena sudah cukup lama berdomisili di Kalimantan nada dan gaya bicaranya sudah menjadi melayu sekali.

Jago Masak

Karena membawa serta anak – anaknya, Mbak Koshe mengambil kamar yang cukup lapang dan dekat dengan kamar mandi dan dapur. Beruntunglah saat itu kamar yang dia inginkan itu masih kosong, jadi dia tidak perlu banyak bernegosiasi dengan si empunya kost untuk diizinkan menyewa kamar tersebut.

Sebagai seorang ibu rumah tangga Mbak Koshe dapat dibilang sangat pandai memasak, ditambah lagi dua kebudayaan yang melekat dalam hidupnya membuatnya pandai membuat menu – menu baru percampuran rasa Jawa-Kalimantan. Dengan keahliannya memasak itu pula dia mencari uang dengan menerima pesanan kue – kue dari orang – orang yang sudah dikenalnya. Posisi kamar yang berdampingan dengan dapur juga sangat membantu usahanya itu.

Pernah suatu hari saat hari ulang tahunku, aku mendapat kejutan sebuah kue ulang tahun yang mungil namun cantik. Aku tahu itu adalah perbuatan Mbak Koshe dan anak – anaknya tapi yang membuatku heran adalah kenapa dia bisa tahu tanggal lahirku sedangkan kawan – kawanku yang sudah lebih dulu nge-kost di sana saja tidak tahu. Entahlah, yang penting aku berterima kasih untuk semua yang dia lakukan itu.

Sejak kejadian itu aku jadi tertarik belajar membuat kue padanya. Aku jadi sering membantunya membuat pesanan dari pelanggannya. Selama proses itu, Mbak Koshe sangat senang bercerita tentang keindahan Kalimantan dan budaya Melayunya yang menarik. “Wi, kalo di Kalimantan itu ya mudah sekali mencari ikan segar. Ada macam – macam dan murah lagi ! ga seperti di sini, yang ada cuma jenis yang itu – itu aja sekalipun ada harus ke supermarket dan harganya lumayan mahal, itu juga belum tentu masih segar”, terdengar Mbak Koshe sedikit mengeluh, dia mulai membanding – bandingkan dua tempat yang jelas – jelas berbeda. “Ya iyalah Mbak, di sana kan banyak sungai besar, jangan disamakan dengan di sini”, timpalku. “Di sana juga gampang kalo mau buah – buahan seperti durian, rambutan, dan lainnya. Apalagi di kabupaten tempat tinggalku, rata – rata kebun dan pekarangan penduduk ditanami buah dan sayur jadi ga perlu jauh – jauh ke pasar mencarinya”, lanjutnya dengan aksen Melayu yang kental. Jadilah sepanjang waktu memasak itu aku terus mendengarkan pujian – pujian Mbak Koshe untuk Pulau yang kaya sungai itu (plus perbandinganya dengan kota tempat kami berada sekarang).

Bubur Kalimantan vs Durian Jawa

Semakin lama semakin senang saja rupanya keluarga itu membandingkan dua pulau yang berbeda budayanya ini. Sepertinya mereka tidak rela sekali tinggal di Jawa ini. Aku ingat pernah suatu waktu Mbak Koshe mencoba membuat masakan khas Pontianak yang terbuat dari sayur –sayuran, kalau aku tidak salah di daerah asalnya diberi nama “Bubur Pedas”. Bubur pedas ini biasanya dibuat dari sayuran segar yang diracik-kecil-kecil lalu dimasak jadi satu lengkap dengan bumbu seperti cabe dan kawan – kawannya.

Maksud hati ingin memperkenalkan masakan Kalimantan kepada anak – anak kost dan kalau bisa dapat persetujuan kalau makanan daerahnya itu memang enak, namun ternyata tidak semua orang sependapat dengan Mbak Koshe. Mungkin hanya 1-2 orang saja yang menyukai masakannya itu sedangkan yang lain terutama anak – anak Jawa mengatakan makanan itu rasanya agak aneh di lidah mereka.

“ makanan apa nich namanya Mbak? “, tanya si Sisil yang anak Solo itu. Dari air mukanya terlihat sekali dia tidak suka dengan makanan itu. “ kata orang Pontianak bubur pedas, Sil”, jawab Mbak Koshe. “Wah, biasanya aku suka makan bubur tapi maaf yang ini kayaknya aku ga doyan Mbak. Rada aneh rasanya di lidahku”, timpal Sisil lagi. “maaf Mbak, sebenarnya makanan ini lumayan enak tapi kayaknya aku ga bisa makan banyak”, aku ikut – ikutan. Sepertinya Mbak Koshe tidak puas dengan tanggapan kami lalu dia menyahut, “itulah kalian ga terbiasa dengan makanan luar sich ! makanya ga bisa ngecocokin lidah dengan masakan dari luar walaupun makanannya enak !”. kelihatan sekali rautnya sedikit kesal.

Itu cerita bubur, lain lagi dengan yang satu ini. Ini kejadian sewaktu kami ( aku, Rara, Mbak Koshe dan anak – anaknya) sedang jalan – jalan mengitari kota Semarang. Kebetulan di sepanjang pinggir jalan ke luar kota banyak yang menjual durian. Karena sudah lama tidak makan buah berbau harum itu, Mbak Koshe berhasrat untuk membeli beberapa buah. Lalu berhentilah kami di salah satu penjual durian itu. Kemudian Mbak Koshe mencoba menanyakan harga satu buah durian yang berukuran sedang. “yang ukuran sedang ja berapa Pak?”, tanyanya. Bapak itu menjawab, “dua lima Bu !” . Tanpa menawar lagi karena berpikir itu adalah harga yang cukup murah dia langsung saja mengambil domper sembari berkata, “ aku ambil dua ja Pak !”. Bapak itu senang karena berhasil menjual dua buah durian dengan mudah lalu dia mengikat dua durian tadi. Ku lihat Mbak Koshe mengeluarkan selembar uang lima ribuan dan menyerahkannya ke penjual durian itu. Bapak itu bengong saat menerima uangnya. “kenapa pak, ada yang salah?”, tanya Mbak Koshe. “Uangnya kurang Bu !”, jawabnya. “lho katanya tadi satu buah dua lima kan? Jadi kalo dua buah lima ribu dong !”, kata Mbak Koshe. Aku dan Rara yang melihat kejadian itu cuma tersenyum geli. “maksud saya satunya dua puluh lima ribu rupiah, bukan dua ribu lima ratus Bu !”, sahut Bapak itu dengan raut muka kesal. Dengan ekspresi terkejut Mbak Koshe sedikit histeris, “dua puluh lima ribu?! Mahalnya, di tempatku yang besar – besar malah dapat sepuluh ribu tiga !”. Bapak itu juga kelihatan terkejut lalu bertanya, “emangnya tempat Ibu itu di mana?”. “di Kalimantan timur”, jawab Mbak Koshe. Bapak itu menjawab lagi sambil mengambil buah durian yang tidak jadi diberikan kepada Mbak Koshe, “kalo gitu Ibu beli duriannya di Kalimantan aja, mungkin beli dua gratis satu !”. Aku dan Rara tidak bisa menahan gelak.

Ketika Mbak Koshe kembali ke mobil, aku iseng bertanya, “ga jadi Mbak beli durennya?”. “ga ah, mahal sekali ! masa duren kecil begitu dua puluh lima ribu? Di tempatku ga bakal ada yang beli kalo harganya segitu !”, jawab Mbak Koshe sambil menyalakan mesin mobil. Ku lihat temanku Rara masih menahan tawanya. Lalu tiba – tiba terlintas kalimat ini di pikiranku, “tau ga Mbak kenapa di sini lebih susah dan mahal dibanding di tempat asal Mbak?” . Mbak Koshe hanya menggeleng – gelengkan kepalanya. Aku langsung berseru diplomatis, “karena Jawa bukan Borneo !”. Ku lihat Rara angguk – angguk tanda setuju sambil senyum – senyum. Anak – anaknya pun ikut tertawa.

3 komentar:

  1. Hehe, aku baca cerita di atas sambil manggut2. Cerita yg sangat dekat dg keseharian para perantau sepertiku.

    Setelah menghabiskan waktu sekitar 1 tahun baru aku sadar, dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung, dan sedramatis apapun keluhan2ku, selama ia tdk realistis, gak bakal bikin pemerintah mengeluarkanku dari sini, hihi... Nice story ^^

    BalasHapus
  2. hmm...
    baguslah kalo cerita ini bisa menggugah kesadaran sebagai kaum perantauan.

    nah ketauan yo pengen hijrah dari Lebong !
    hihi....

    BalasHapus
  3. hai ...
    lagi browsing2 tentang kalimantan untuk kedatanganku yang ke 5 kali ke sana, ketemu deh blog ini.
    salam kenal ya mba..
    siapa tahu bisa bersilaturahmi lewat bisnis saya di http://bossfam.net

    BalasHapus