Jumat, 25 Desember 2009
HERMAPRODIT (Inspired by True Story)
Sudah lebih kurang lima tahun dia menjalani pekerjaan yang sebelumnya tak pernah diinginkannya tersebut, bahkan membayangkannya saja dia tidak mau. Tapi kenyataannya itulah yang terjadi pada hidupnya sekarang, menjadi seorang ‘gigolo’ yang melayani tante – tante girang juga berhubungan dengan pria – pria homoseksual.
Edric, begitu dia biasa dipanggil. Sebenarnya dia adalah sosok pemuda yang baik, berparas tampan dan cukup pintar. Namun sayang pengalaman hidup membuatnya harus menjalani kehidupan yang tidak normal. Berganti – ganti pasangan dan menjalani kehidupan biseksual.
Pengalaman masa kecil
Pada awalnya Edric dan keluarganya adalah keluarga besar yang bahagia. Ayahnya merupakan orang keturunan Pakistan yang bekerja sebagai seorang pedagang sedangkan ibunya orang Jawa yang patuh kepada suaminya.
Edric kecil adalah seorang anak yang rajin membantu ayahnya berdagang. Rumah mereka berdekatan dengan rumah pamannya yang kebetulan adalah pemilik bilyard. Dari sana awal dia mengetahui kehidupan para gigolo namun waktu itu ia tak pernah berniat melibatkan diri ke dalamnya. Hingga suatu peristiwa membuatnya sangat terpukul dan menjerumuskannya pada kehidupan ‘maksiat’.
Saat itu usaha ayahnya mengalami kebangkrutan, karena penipuan dari seorang rekanan. Sang ayah sebagai tulang punggung keluarga tidak siap mengalami kegagalan seperti itu maka jadilah ayahnya mencoba peruntungan dengan berjudi dan menjual ‘togel’. Ibunya yang sangat patuh kepada suami itu tidak mampu mencegah perbuatan buruk ayahnya, sebaliknya sang ibu justru membantu menjalankan usaha terlarang tersebut.
Suatu hari ayah dan ibunya pergi untuk waktu yang cukup lama sehingga tinggallah hanya Edric dan ketiga saudaranya di rumah. Sepeti biasa dia bermain – main di rumah bilyard pamannya yang kebetulan pada saat itu lagi sepi pengunjung.
Kemudian sang paman datang dan mengajaknya bermain bilyard. Sementara Edric tidak menaruh curiga pada pamannya, karena dia merasa sudah sangat mengenal adik ayahnya itu.
Tiba – tiba tanpa diduga pamannya menariknya ke suatu ruangan di rumah bilyard itu, Edric meronta dan berteriak minta tolong tapi tenaga pamannya lebih kuat dan tak seorang pun mendengar teriakannya. Lalu terjadilah hal yang sangat memilukan itu, ia disodomi oleh pamannya sendiri. Dia tidak bisa berbuat apa – apa, tidak pernah disangkanya paman yang dihormatinya selama ini tega melakukan hal menjijikan itu padanya.
Sejak peristiwa itu, Edric menjadi pemuda yang pendiam dan selalu takut bila melihat pamannya. Dia benar – benar terpukul karena perbuatan pamannya itu.
Menjadi Biseksual
Sayang sekali tak seorang pun anggota keluarganya menyadari perubahan sikap Edric. Semua sibuk dengan urusan masing – masing. Sebenarnya Edric pernah mencoba menceritakan peristiwa naas yang menimpanya kepada ibunya namun ibunya tidak mempercayainya bahkan ibunya mengira dia sedang mengarang cerita, begitu juga ayah dan saudara – saudaranya.
Merasa terkucilkan dan tidak pernah dipedulikan oleh keluarganya, Edric pun pergi dari rumah dan mencoba menjadi anak kost. Saat itu dia sudah masuk SMU dan masih butuh banyak uang untuk biaya hidupnya sendiri. Di SMU pula dia mulai menyukai dandanan seperti anak – anak perempuan. Edric mulai memakai kosmetik, seperti celak, lipgloss, dan ‘kutek’ (pewarna kuku).
Untuk membiayai hidupnya sendiri dia harus bekerja. Awalnya dia bekerja sebagai seorang ‘bartender’ di sebuah bar & diskotik. Kemudian dari sana dia berkenalan dengan banyak pria yang berprofesi menjadi ‘gigolo’. Melihat penghasilan pria – pria yang suka melayani wanita – wanita kesepian itu lumayan besar, dia pun mencoba profesi tersebut tanpa berpikir lagi bahwa pekerjaan itu membawa banyak resiko, yang dia inginkan hanya mendapatkan uang sebanyak – banyaknya untuk mencukupi kebutuhan hidupnya.
Karena parasnya yang tampan, dengan mudah dalam sekejap Edric mendapatkan banyak pelanggan (tante – tante girang*red*). Karena begitu senang mendapatkan uang yang banyak, ia terus melanjutkan pekerjaan terlarang itu sampai lulus sekolah dan ia memutuskan untuk melanjutkan ke perguruan tinggi.
Di saat mulai kuliah itulah dia merasakan keganjilan dalam dirinya, bayang – bayang peristiwa masa kecilnya terus terlintas dan mungkin itu yang mempengaruhi perasaannya menjadi lebih tertarik pada pria daripada wanita. Dia merasa ada bagian jiwa wanita dalam dirinya meskipun dia sadar bahwa dia juga laki – laki. Akhirnya dia tak bisa melawan keganjilan dalam dirinya sehingga dia menjalin hubungan (berpacaran *red*) dengan sesama pria yang juga menyukai jenisnya.
Kehidupan Edric semakin rumit, dia sudah benar – benar terjerumus pada kemaksiatan. Dia terus menjalankan profesinya sebagai ‘gigolo’ yang berhubungan dengan tante – tante genit namun dia juga menyalurkan hasratnya untuk berpacaran dengan pria – pria penyuka sesama jenis. Ya, Edric akhirnya tak bisa mengendalikan dirinya menjadi seorang ‘biseksual’. Mungkin makhluk seperti Edric inilah salah satu contoh ‘hermaprodit’ (tiba – tiba saja aku teringat dengan pelajaran biologi waktu SMP dulu).
Pengakuan
“Sejak awal kuliah dan mengenalmu sebenarnya aku sudah merasa ada suatu keyakinan dalam diriku untuk bersahabat denganmu”, begitu yang dikatakan Edric pada saat memulai cerita hidupnya kepadaku. “sepertinya ada bisikan yang bilang kalo dirimu akan menjadi teman yang baik dan dapat menerima aku apa adanya”, lanjutnya. “jangan terlalu berlebihan menilai diriku, aku hanya berusaha menjadi teman yang baik walaupun awalnya aku ga percaya dengan ceritamu”, begitu jawabku waktu itu.
“Ric, kalo kamu memang menganggapku sebagai sahabatmu aku mau kamu pertimbangkan saranku”, kataku akhirnya. “aku sudah bisa nebak apa yang mau kamu sarankan ke aku Wi”, jawabnya. “kamu pasti mau diriku berubah dan meninggalkan semua yang aku kerjakan itu, iya kan?”, lanjutnya. “Ric….” belum selesai aku bicara dia sudah memotong, “Ga perlu kasih nasihat beserta hadist – hadist nabi ke aku Wi, aku sudah sering dengar” Edric bicara seolah – olah dia sudah tahu isi kepalaku.
Aku maklum kalau dia sudah banyak tahu isi kitab bahkan aku yakin dia tahu lebih baik tentang ajaran agama disbanding diriku karena ayahnya berasal dari keluarga Pakistan yang bisa dibilang taat beragama. Namun aku juga tahu kalau Allah Swt. memberi hidayah hanya pada orang yang dikehendakinya. Bahkan nabi Muhammad pun tidak berhasil mengajak pamannya untuk memilih jalan Allah, apalagi diriku yang hanya manusia biasa?? “Wi, aku tetap menganggapmu sebagai sahabat baikku. Tapi aku minta maaf untuk saat ini aku belum bisa meninggalkan semua, doakan aja suatu saat aku bisa berubah jadi lebih baik”, lirih Edric berkata. “gimana dengan orang tua dan keluargamu?”, tanyaku. “aku memang sudah kembali ke rumah dan mencoba meninggalkan sifat kewanitaanku, tapi justru di rumah aku harus membantu ayahku manjalankan usaha ‘togel’nya dan jadi negosiator dengan polisi yang mencoba mengambil keuntungan dari usaha ayah”, Edric menjawabku dengan suara sedih yang tertahan.
Aku tak bisa berkata apa pun lagi karena setelah mengatakan semua kenyataan itu, Edric segera pergi dan hingga saat ini tidak pernah lagi menghubungiku. Ya Allah, semoga Engkau bukakan hati temanku itu.
MENUNGGU TANPA WAKTU (Inspired by true story)
Cinta datang tak pernah diduga
Cinta datang bukan karena dipaksa
Cinta tumbuh karena kehendak Sang Maha Cinta
Cinta tumbuh bagai energi dari dalam jiwa
Jangan salahkan cinta atas air mata
Jangan salahkan cinta atas kecewa
Karena cinta hanya memberi
Karena cinta sanggup tuk menunggu
Meski tanpa waktu……………..
(my own poem)
Mungkin sepenggal puisi tersebut dapat mewakili perasaan seorang teman yang hingga saat ini masih percaya bahwa cintanya akan kembali kepadanya. Seorang teman yang percaya pada kekuatan harapan. Begitulah yang pernah dituturkannya padaku.
Perkenalan
Saat itu bulan Juli tahun 2005, Didi seorang pemuda biasa yang kuliah di fakultas pertanian di satu – satunya perguruan tinggi negeri di Bengkulu mengikuti kegiatan magang (praktek kerja) bersama beberapa orang temannya di Bandung. Ternyata cukup banyak yang ikut dalam kegiatan tersebut, mereka berasal dari berbagai perguruan tinggi di berbagai daerah seperti UNAND, UNIB, UNILA, UNIDA, IPB, OENSOED, UNS, dan lain – lain.
Pada saat itulah Di panggilan akrabnya mengenal seorang gadis manis yang kemudian dia tahu namanya Gerish. Gerish yang mahasiswi IPB dari fakultas ilmu nutrisi makanan ternak itu adalah gadis periang. Di mengaku sejak pertama melihat Gerish, dia sudah jatuh hati pada gadis itu (mungkin ini yang disebut orang ‘love at the first sight’ ya). Sayangnya Di bukan tipe cowok yang mudah menunjukkan perasaannya, jadilah Di hanya sekedar berkenalan dan curi – curi pandang di antara beberapa teman yang ikut magang waktu itu.
Menyatakan Cinta
Semakin lama mengenalnya semakin Di mencintai Gerish. Gadis itu selalu mengisi ruang benaknya. Keceriaan dan senyum manis gadis itu membuatnya semakin bersemangat melewati masa – masa magangnya di sana.
Suatu hari di akhir Juli Di sudah bertekad untuk bisa menyatakan perasaannya pada mahasiswi IPB itu. Di pun mencari saat yang tepat untuk mengaplikasikan niatnya itu. Kebetulan di hari terakhir bulan Juli itu para peserta magang mengadakan rekreasi ke kawah putih di daerah Ciwidey kabupaten Bandung (hmm…. Itu tuch tempat syutingnya film heart, yg waktu Nirina berlari di antara akar-akar pohon itu).
Malam itu di antara dinginnya suhu di Ciwidey, akhirnya Di menyatakan perasaannya kepada gadis impiannya itu. Di berpikir dia harus memberikan waktu kepada Gerish untuk memikirkan keputusan atas pernyataannya. Tepat pukul 02.30 dini hari di hari pertama bulan Agustus, gadis itu akhirnya memberi keputusan untuk menerima cinta Di. Tak bisa digambarkan betapa bahagia hati Didi saat itu karena Gerish adalah pacar pertamanya dan dia berharap bisa menjadi yang terakhir.
Lost in time
Sayang sekali kebahagiaan dan kebersamaan yang baru dirasakan Di tidak berlangsung lama karena keesokan harinya mereka harus berpisah. Dia dan sebagian besar peserta magang yang lain harus meneruskan perjalanan ke Bogor sementara Gerish harus ikut rombongan mahasiswa IPB lainnya ke Cirebon. Mereka tidak sempat bertemu lagi sampai masing – masing peserta magang kembali ke kota asalnya.
Jadilah mereka berdua menjalani ‘long distance relationship’ (istilah untuk hubungan jarak jauh). Walaupun belum bisa bertatap muka lagi mereka menjalani hubungan itu dengan bahagia dan tidak pernah mendapat masalah yang berarti. “Dia membuatku semangat menjalani hidup dan mampu melakukan apa pun”, itu yang pernah Didi katakan padaku. “di mana cewek itu sekarang, Di?”, aku tanyakan hal itu padanya ketika tiba – tiba dia ceritakan padaku bahwa dia telah kehilangan cinta Gerish.
Ya, Didi telah kehilangan cinta dari gadis yang sangat dia sayangi itu. Ternyata hubungan mereka hanya bertahan selama 6 bulan saja, tepat pada bulan Februari 2006 Gerish memutuskan untuk mengakhiri hubungan mereka. “Gerish bilang dia ga sanggup sendiri. Saat dia membutuhkanku, aku ga ada disampingnya pun sebaliknya. Saat dia butuh tempat bersandar, curhat and anything else aku ga ada buat dia. Mungkin itu yang membuatnya mengambil keputusan buat pisah”, demikian curhat Di kepadaku. “dia sekarang kerja di Serang, Wi”, lanjutnya.
“terus gimana kabarnya sekarang, Di. Apa dia masih sendiri?”, tanyaku saat dia menceritakan kesedihannya karena kehilangan Gerish. “entahlah, yang jelas dia pernah bilang padaku kalo dia sudah anggap aku sebagai teman biasa. Dia benar – benar istimewa bagiku Wi, aku ga bisa melepasnya begitu saja. Sampai sekarang aku masih berharap ada sedikit rasa cinta and sayang dia kepadaku, tapi itu mungkin cuma harapanku aja. Walaupun begitu aku akan ambil harapan itu walaupun hampir tidak mungkin aku mendapatkannya, karena dengan harapan itulah aku masih bisa berdiri sampai sekarang and masih bersemangat untuk menjalani hidup”, ungkap Didi. (saat Di mengatakan itu sudah akhir tahun 2009, coba bayangkan sudah berapa lama dia menunggu mantan pacarnya itu !).
Harapan itu mungkin ada
Di, temanku yang malang apa yang bisa ku sarankan padamu. Aku jadi teringat lagunya Sherina, Cinta Pertama dan Terakhir mungkin itu bisa menggambarkan bagaimana perasaan Didi terhadap Gerish, mojang Bandung yang dikenalnya empat tahun yang lalu itu. “Di, Tuhan Maha Tahu apa yang terbaik untuk makhluknya. Kalo kamu yakin dengan apa yang kamu harapkan dan kamu lakukan maka lakukanlah. Harapan itu memang selalu ada untuk orang – orang yang mempercayainya”, hanya itu yang bisa ku katakan pada Di akhirnya.
“Thanks Wi, aku akan coba menunggunya walau sampai kapan pun”, ujar Didi. Aku tidak bisa menyarankan apa pun lagi, dalam batinku berdoa semoga semua harapan dan keyakinannya itu terwujud. Cinta oh cinta memang misteri, bisa memberi kekuatan yang tidak terduga. Bisa membuat keajaiban dan keanehan. Bisa merubah harapan menjadi ketegaran, membuat hidup berwarna – warni. Pada akhirnya cinta mampu membuat seorang Di menunggu tanpa waktu.
JAWA BUKAN BORNEO (Inspired by true story)
Waktu ku ucapkan kalimat Jawa bukan Borneo, teman – teman hanya tertawa sembari berseru,”ya iyalah Wi, kamu pikir Borneo di mana? Itu tempat suku Dayak tuch, coba kamu cari di sini mana ada suku Dayaknya ! kamu nich ada – ada ja”. Aku hanya tersenyum kecut, mereka selalu mengartikan kalimat orang secara harfiah.
Padahal aku tidak sekedar sembarang buat kalimat itu. Itu baru bisa ku dapatkan setelah mengikuti perkembangan kejadian di kost akhir – akhir ini dan itu membutuhkan waktu yang tidak sebentar karena harus diawali adanya anak perantauan dari Kalimantan. Setelah itu harus mengakrabkan diri dulu dengan mereka, lalu mempelajari kebiasaan mereka. Benar kan perlu waktu yang cukup lama? Yah, jadi perlu survey dan interview berkali – kali dan berhari – hari (sepertinya terlalu berlebihan ya??) untuk mengeluarkan ‘statement’ seperti itu (halah…..).
Kemunculan keluarga kecil
Suatu hari di bulan Oktober (aku lupa pastinya tanggal dan jam berapa) kami kedatangan anggota kost yang baru dan tidak tanggung – tanggung beliau membawa serta 3 orang anaknya. Namanya Mbak Koshe, sedang ketiga anaknya adalah Tissha, Oka dan Dedek. Mereka baru pindah dari Kalimantan tapi berencana tidak akan lama di sini karena suaminya Mbak Koshe masih tinggal dan bekerja di Kalimantan.
Anaknya yang sulung, si Tissha masih duduk di bangku kelas 2 SMP dan berencana melanjutkan sekolahnya di pulau Jawa ini. Sedangkan 2 orang putranya yakni Oka dan Dedek masih bersekolah di SD. Kuat juga Mbak Koshe ini mengurusi 3 orang anak yang menurutku ‘bandel’ itu seorang diri.
Sebenarnya Mbak Koshe sendiri asli orang Jawa, orang tuanya ada di Pemalang dan suaminya adalah asli Semarang hanya saja setelah menikah suaminya ditugaskan di pulau Borneo. Karena sudah cukup lama berdomisili di Kalimantan nada dan gaya bicaranya sudah menjadi melayu sekali.
Jago Masak
Karena membawa serta anak – anaknya, Mbak Koshe mengambil kamar yang cukup lapang dan dekat dengan kamar mandi dan dapur. Beruntunglah saat itu kamar yang dia inginkan itu masih kosong, jadi dia tidak perlu banyak bernegosiasi dengan si empunya kost untuk diizinkan menyewa kamar tersebut.
Sebagai seorang ibu rumah tangga Mbak Koshe dapat dibilang sangat pandai memasak, ditambah lagi dua kebudayaan yang melekat dalam hidupnya membuatnya pandai membuat menu – menu baru percampuran rasa Jawa-Kalimantan. Dengan keahliannya memasak itu pula dia mencari uang dengan menerima pesanan kue – kue dari orang – orang yang sudah dikenalnya. Posisi kamar yang berdampingan dengan dapur juga sangat membantu usahanya itu.
Pernah suatu hari saat hari ulang tahunku, aku mendapat kejutan sebuah kue ulang tahun yang mungil namun cantik. Aku tahu itu adalah perbuatan Mbak Koshe dan anak – anaknya tapi yang membuatku heran adalah kenapa dia bisa tahu tanggal lahirku sedangkan kawan – kawanku yang sudah lebih dulu nge-kost di sana saja tidak tahu. Entahlah, yang penting aku berterima kasih untuk semua yang dia lakukan itu.
Sejak kejadian itu aku jadi tertarik belajar membuat kue padanya. Aku jadi sering membantunya membuat pesanan dari pelanggannya. Selama proses itu, Mbak Koshe sangat senang bercerita tentang keindahan Kalimantan dan budaya Melayunya yang menarik. “Wi, kalo di Kalimantan itu ya mudah sekali mencari ikan segar. Ada macam – macam dan murah lagi ! ga seperti di sini, yang ada cuma jenis yang itu – itu aja sekalipun ada harus ke supermarket dan harganya lumayan mahal, itu juga belum tentu masih segar”, terdengar Mbak Koshe sedikit mengeluh, dia mulai membanding – bandingkan dua tempat yang jelas – jelas berbeda. “Ya iyalah Mbak, di sana kan banyak sungai besar, jangan disamakan dengan di sini”, timpalku. “Di sana juga gampang kalo mau buah – buahan seperti durian, rambutan, dan lainnya. Apalagi di kabupaten tempat tinggalku, rata – rata kebun dan pekarangan penduduk ditanami buah dan sayur jadi ga perlu jauh – jauh ke pasar mencarinya”, lanjutnya dengan aksen Melayu yang kental. Jadilah sepanjang waktu memasak itu aku terus mendengarkan pujian – pujian Mbak Koshe untuk Pulau yang kaya sungai itu (plus perbandinganya dengan kota tempat kami berada sekarang).
Bubur Kalimantan vs Durian Jawa
Semakin lama semakin senang saja rupanya keluarga itu membandingkan dua pulau yang berbeda budayanya ini. Sepertinya mereka tidak rela sekali tinggal di Jawa ini. Aku ingat pernah suatu waktu Mbak Koshe mencoba membuat masakan khas Pontianak yang terbuat dari sayur –sayuran, kalau aku tidak salah di daerah asalnya diberi nama “Bubur Pedas”. Bubur pedas ini biasanya dibuat dari sayuran segar yang diracik-kecil-kecil lalu dimasak jadi satu lengkap dengan bumbu seperti cabe dan kawan – kawannya.
Maksud hati ingin memperkenalkan masakan Kalimantan kepada anak – anak kost dan kalau bisa dapat persetujuan kalau makanan daerahnya itu memang enak, namun ternyata tidak semua orang sependapat dengan Mbak Koshe. Mungkin hanya 1-2 orang saja yang menyukai masakannya itu sedangkan yang lain terutama anak – anak Jawa mengatakan makanan itu rasanya agak aneh di lidah mereka.
“ makanan apa nich namanya Mbak? “, tanya si Sisil yang anak Solo itu. Dari air mukanya terlihat sekali dia tidak suka dengan makanan itu. “ kata orang Pontianak bubur pedas, Sil”, jawab Mbak Koshe. “Wah, biasanya aku suka makan bubur tapi maaf yang ini kayaknya aku ga doyan Mbak. Rada aneh rasanya di lidahku”, timpal Sisil lagi. “maaf Mbak, sebenarnya makanan ini lumayan enak tapi kayaknya aku ga bisa makan banyak”, aku ikut – ikutan. Sepertinya Mbak Koshe tidak puas dengan tanggapan kami lalu dia menyahut, “itulah kalian ga terbiasa dengan makanan luar sich ! makanya ga bisa ngecocokin lidah dengan masakan dari luar walaupun makanannya enak !”. kelihatan sekali rautnya sedikit kesal.
Itu cerita bubur, lain lagi dengan yang satu ini. Ini kejadian sewaktu kami ( aku, Rara, Mbak Koshe dan anak – anaknya) sedang jalan – jalan mengitari kota Semarang. Kebetulan di sepanjang pinggir jalan ke luar kota banyak yang menjual durian. Karena sudah lama tidak makan buah berbau harum itu, Mbak Koshe berhasrat untuk membeli beberapa buah. Lalu berhentilah kami di salah satu penjual durian itu. Kemudian Mbak Koshe mencoba menanyakan harga satu buah durian yang berukuran sedang. “yang ukuran sedang ja berapa Pak?”, tanyanya. Bapak itu menjawab, “dua lima Bu !” . Tanpa menawar lagi karena berpikir itu adalah harga yang cukup murah dia langsung saja mengambil domper sembari berkata, “ aku ambil dua ja Pak !”. Bapak itu senang karena berhasil menjual dua buah durian dengan mudah lalu dia mengikat dua durian tadi. Ku lihat Mbak Koshe mengeluarkan selembar uang lima ribuan dan menyerahkannya ke penjual durian itu. Bapak itu bengong saat menerima uangnya. “kenapa pak, ada yang salah?”, tanya Mbak Koshe. “Uangnya kurang Bu !”, jawabnya. “lho katanya tadi satu buah dua lima kan? Jadi kalo dua buah lima ribu dong !”, kata Mbak Koshe. Aku dan Rara yang melihat kejadian itu cuma tersenyum geli. “maksud saya satunya dua puluh lima ribu rupiah, bukan dua ribu lima ratus Bu !”, sahut Bapak itu dengan raut muka kesal. Dengan ekspresi terkejut Mbak Koshe sedikit histeris, “dua puluh lima ribu?! Mahalnya, di tempatku yang besar – besar malah dapat sepuluh ribu tiga !”. Bapak itu juga kelihatan terkejut lalu bertanya, “emangnya tempat Ibu itu di mana?”. “di Kalimantan timur”, jawab Mbak Koshe. Bapak itu menjawab lagi sambil mengambil buah durian yang tidak jadi diberikan kepada Mbak Koshe, “kalo gitu Ibu beli duriannya di Kalimantan aja, mungkin beli dua gratis satu !”. Aku dan Rara tidak bisa menahan gelak.
Ketika Mbak Koshe kembali ke mobil, aku iseng bertanya, “ga jadi Mbak beli durennya?”. “ga ah, mahal sekali ! masa duren kecil begitu dua puluh lima ribu? Di tempatku ga bakal ada yang beli kalo harganya segitu !”, jawab Mbak Koshe sambil menyalakan mesin mobil. Ku lihat temanku Rara masih menahan tawanya. Lalu tiba – tiba terlintas kalimat ini di pikiranku, “tau ga Mbak kenapa di sini lebih susah dan mahal dibanding di tempat asal Mbak?” . Mbak Koshe hanya menggeleng – gelengkan kepalanya. Aku langsung berseru diplomatis, “karena Jawa bukan Borneo !”. Ku lihat Rara angguk – angguk tanda setuju sambil senyum – senyum. Anak – anaknya pun ikut tertawa.
Kamis, 24 Desember 2009
BUKAN MAGNET (Inspired by True Story)
Terkadang kita tidak bisa mengerti atas hal – hal tertentu yang terjadi dalam kehidupan manusia. Bukankah setiap diri itu telah diciptakan berlawanan untuk saling melengkapi dan membutuhkan?
Aku jadi teringat pelajaran fisika sewaktu di SMP dulu. Bahwa magnet terdiri dari dua kutub yang berbeda, antara dua kutub yang berlawanan akan terjadi tarik – menarik dan kutub yang sama akan tolak – menolak. Setidaknya itulah materi pelajaran fisika yang paling ku ingat sampai sekarang. Aku juga ingat Pak Suherwan, guru fisika waktu itu juga mencontohkan antara manusia maupun hewan sifat magnet itu juga berlaku. Aku yang saat itu masih lugu, menelan bulat – bulat saja teori sifat magnet itu. Namun apa yang ku lihat dan dengar setelah aku kuliah memberiku kesimpulan baru. Ternyata teori sifat magnet itu tidak berlaku pada makhluk bernama MANUSIA !
Kisah si putri dari timur
Namanya Inka, anak – anak se-kost biasa memanggilnya Kak Inka. Dia mahasiswa yang berasal dari ujung timur Indonesia. Dari penampilan dan sikapnya sudah terlihat kalau dia termasuk mahasiswa yang bandel dan cukup malas. Dia sering bolos kuliah hanya dengan alasan ketiduran dan alasan lain yang tidak penting. Tapi kami tahu sebenarnya dia adalah teman yang baik, dia sering membantu kalau ada teman se-kost yang butuh bantuan.
Satu kebiasaan jeleknya yang aku tidak sukai adalah Kak Inka suka merokok dan jorok. Namun aku dan teman – teman lain tidak pernah mau mempermasalahkan hal itu (kami takut ‘cari ribut’ dengannya). Dari penampilan luar Kak Inka terlihat sebagai wanita normal meskipun dia memang tidak pernah berdandan sama sekali.
Kami tidak pernah menyadari kalau ternyata Kak Inka punya kelainan, dia tak pernah tertarik dengan laki – laki. Katanya dia tidak butuh laki – laki karena mereka hanya membuat masalah saja. Waktu dia mengatakan itu kami tidak menganggapnya serius karena kami tahu Kak Inka orang yang suka bercanda.
Tamu dari Bandung
Pada suatu sore saat semua anak kost sedang berkumpul untuk menonton serial Asia di TV (yah, dulu kami se-kost punya acara favorit yang sama yaitu drama Asia !) tiba – tiba ada beberapa orang yang datang mencari Kak Inka, seingatku ada 4 orang wanita yang agak gemuk badannya.
“Kawan – kawan, kenalkan mereka ini temanku dari Bandung”, begitu Kak Inka memperkenalkan orang – orang tadi kepada anak – anak kost yang lain. Setelah perkenalan singkat itu, Kak Inka dan tamunya itu segera pergi. Kata Kak Inka sich mau menemani mereka keliling kota Semarang.
Begitu mereka pergi, salah seorang teman kost-ku nyeletuk, “mereka itu perempuan yang suka perempuan !”. Kami benar – benar terkejut mendengarnya, “lesbi maksudmu???” Secara serentak kami bertanya padanya. Temanku itu hanya mengangguk mengiyakan. “kamu yakin?”, aku bertanya lagi untuk memastikan.
“iya, kata Kak Inka dia kenal mereka karena sering ‘chatting’ dan join kelompok penyuka sesama”, ujar temanku yang bernama Rara itu lagi. “kalau tidak percaya ayo kita buktikan malam nanti”, lanjutnya lagi.
Spying night
Malam itu anak – anak kost lantai 2 yang biasa pada tidur cepat, sengaja menyediakan waktu untuk tidak tidur lebih awal semata – mata untuk membuktikan semua yang dikatakan Rara adalah benar. Sedangkan aku ingin membuktikan teori lama tentang sifat magnet itu adakah berlaku pada manusia atau tidak?
Kami menunggu Kak Inka dan teman – teman barunya itu kembali ke kost dan ternyata mereka kembali dengan salah seorang di antaranya dalam keadaan setengah sadar. Sepertinya mereka habis minum. Mereka langsung menuju ke kamar Kak Inka. Kami pun sudah bersiap beraksi seperti mata – mata musuh yang ingin mencuri informasi berharga dari rivalnya.
Malam itu, Rara, Eta, Ria, teh Widi, Tyas, dan diriku mengendap – endap mendekati kamar Kak Inka dan mencoba melakukan ‘spionase’ dari jendela kamar yang tertutup tirai dan hanya diterangi remang lampu yang ‘hidup segan mati tak mau’ di dekat tangga. Kami berbaris seperti anak bebek yang mengiringi induknya, Rara sebagai pemimpin barisan berada paling depan. Sementara diriku berada di paling belakang barisan itu.
Bergantian kami mencoba melihat apa yang terjadi dalam ruangan berukuran 3 x 3 meter itu. Sayangnya begitu tiba giliran 3 orang yang terakhir (itu termasuk diriku) tidak sempat melihat apa pun di sana karena tiba – tiba saja dari dalam seperti ada suara orang akan membuka pintu. Kami ketakutan seperti dikejar setan segera ambil langkah seribu, bisa gawat kejadiannya kalau ketahuan oleh mereka.
Ibu yang sakit hati
Hari ke dua mereka di kost, salah seorang yang keliahatannya paling tua dan bongsor badannya mencoba berteman lebih akrab dengan Tyas dan diriku. Aku terkejut saat dia tiba – tiba mendekatiku dan bertanya basa basi tentang Semarang (jujur, aku benar – benar takut didekati wanita seperti dia) tapi tetap bersikap ramah padanya. Yang membuatku lebih merasa aneh, tiba – tiba dia berbisik padaku “Wi, aku boleh pinjam mukena kamu ga?” begitu katanya. Dengan pandangan seperti tidak percaya, aku bertanya “untuk apa?”. Dia tersenyum sembari menjawab, ”kamu pikir apa fungsi mukena? Yah untuk sholat lah. Apa ada larangan untuk tamu untuk numpang sholat di sini?”. Dengan muka merah padam karena malu dianggap seperti orang yang tidak tahu fungsi mukena, aku katakan padanya, “maaf, silahkan sholat di kamarku”. Kemudian aku meminjamkan mukenaku dan mengizinkannya sholat di kamarku.
Sementara dia sholat, aku masih mencoba mengendalikan pikiran realistisku yang tidak bisa menerima bahwa seorang wanita penyuka sejenis itu tetap beribadah dan ingat pada Tuhannya. Prasangka buruk mulai muuncul di benakku, “mungkin dia hanya bersandiwara untuk menutupi siapa dirinya yang sebenarnya kepada kami? Dia pikir kami tidak tahu kalau dia tidak normal?”. Tapi firasatku mengatakan dia tidak berbohong, dia menunjukkan dirinya yang sebenarnya. Ku lihat Tyas seperti orang bingung, aku dapat menebak pastilah dia juga berpikir sepertiku.
Selesai sholat wanita yang bernama Desi (begitu dia menyebut namanya) itu segera bergabung lagi dengan aku dan Tyas yang sedang ngobrol di kamar Tyas yang bersebelahan dengan kamarku. Dia mulai mengakrabkan diri, sekiranya merasa telah akrab dengan kami dia mulai bercerita tentang kisah hidupnya.
Begini dia bercerita, “sebenarnya aku pernah menikah dan sudah punya 2 orang putri di Bandung, pernikahan itu cuma bertahan 5 tahun aja. Suamiku menceraikan diriku dengan alasan sudah tidak bisa bersamaku lagi. Aku tahu dia mencintai perempuan lain. Sejak perceraian itu aku udah ga percaya lagi sama yang namanya laki – laki, aku merasa mereka semua pembohong”. “Tapi ga semua laki – laki seperti itu Mbak !”, Tyas memotong ceritanya. “aku udah 2 kali dikecewakan laki – laki dan bukan aku aja, banyak temanku yang lain mengalami hal serupa”, lanjut Mbak Desi. Aku jadi ikut memotong, “maksud Mbak teman – teman Mbak yang ikutan ke sini itu?”. “Yang seperti ini bukan cuma kami, masih banyak di Bandung dan Jakarta”, jawabnya. Refleks aku menyahut, “hah?? Masih banyak?”. Ibu 2 anak itu hanya tersenyum lalu melanjutkan ceritanya.
“Dulu setelah cerai aku sempat menjadi TKI di Malaysia, di sana ternyata aku banyak ketemu perempuan – perempuan sepertiku. Mereka terpaksa bekerja seperti itu untuk menghidupi diri dan anak – anaknya karena status ‘single parent’-nya. Ga lama aku jadi TKI Cuma 1 tahun terus aku balik ke Bandung karena kasihan sama anak – anak. Waktu balik Bandung, aku gabung dengan komunitas perempuan yang kecewa dengan laki – laki, kami sering ‘sharing’ baik secara langsung maupun di ‘forum YM’. Mungkin dari situ aku mulai merasa ada perasaan yang ga wajar dengan sesama perempuan, aku merasa nyaman bersama mereka dan ternyata mereka pun sama sepertiku. Jadilah kami perempuan penyuka perempuan. Tapi biarpun begitu, aku tetap ingat Tuhan lho ! makanya aku tetap melakukan sholat walaupun teman – teman yang lain tidak ada yang sholat. Ku pikir setidaknya bisa mengurangi sedikit dosa, betul ga?”, tuturnya. Tyas dan aku hanya bengong dan saling berpandangan. Aku yakin Tyas punya pendapat yang sama denganku, “benarkah sholatnya bisa mengurangi dosa yang ga pernah dia niatkan untuk meninggalkannya?”
“wah aku harus menemani Inka dan kawan – kawan dulu, thanks ya udah dipinjamin mukena dan didengarkan ceritaku”, Mbak Desi berseru lalu segera berlalu meninggalkan kami yang masih kebingungan dengan sikapnya yang unik itu.
Pamitan
Tidak lama tamu dari Bandung itu menginap di kost kami karena esok paginya mereka segera berpamitan pada kami, kata Kak Inka dia dan teman – temannya itu akan mengunjungi teman mereka di Jogja terus akan kembali ke Bandung.
Setelah berpamitan dengan seluruh anak kost di situ, mereka pun segera berlalu dengan ajakan basa – basi menawarkan kami untuk main – main ke kota mereka bila ada kesempatan.
Banyak pelajaran yang ku ambil dari mereka, terutama Mbak Desi dengan ‘statement’nya bahwa sholatnya bisa bisa mengurangi dosa yang tetap dilakukan setelahnya. Tapi dari semua hal tentang mereka aku punya dua kesimpulan, “pertama, ternyata manusia tidak lebih pintar dari hewan, karena belum pernah ku dengar ada hewan yang kawin dengan temannya yang satu ‘gender’. Ke dua, ternyata teori sifat magnet tidak berlaku pada manusia”
my first secret: Jangan sakiti pelangi
my first secret: Jangan sakiti pelangi
sudah berapa kali ku bilang,
jangan pernah kau protes warna pelangi yang begitu indah,
memang tak seindah kita atau mereka,
itu anugerah Tuhan untuk kita juga,
sudah berapa kali ku bilang,
jangan pernah kau protes warna pelangi yang begitu indah,
memang tak seindah kita atau mereka,
itu anugerah Tuhan untuk kita juga,
Langganan:
Postingan (Atom)